Bertemu Penunggu Gunung Arjuno

Perjalanan ini kami lakukan di bulan Januari 2018. Rencana pendakian kami adalah mendaki gunung arjuno dan welirang via lawang-tretes.  Lewat Lawang karena aku tertarik dengan view sabananya. Mengapa pulang lewat Tretes?  Karena di sana cukup ramai, memotong jalur agar lebih dekat pulang ke surabaya,  ada pos pondokan untuk sekedar berteduh jika kelelahan setelah summit,  dan banyak sumber air sehingga bisa mengurangi beban logistik kami.  

Seperti biasa aku melakukan riset untuk gunung yang akan kudaki.  Beberapa yang saya lakukan adalah dengan mencatat estimasi waktu perjalanan pendaki-pendaki lain yang sudah pernah ke arjuno,  membaca peta dan topografinya, menandai dimana saja titik2 pos/shelternya, posisi sumber air, jalur alternatif,  compare to compass,  kondisi cuaca,  dan yang pasti banyak bertanya pada penduduk di sekitar sana mengenai kondisi arjuno-welirang seminggu terakhir. 

Kami sepakat untuk melakukan perjalanan 2 hari 1 malam. Berangkat kamis pagi,  dengan harapan jumat sore sudah di basecamp.  Menurut perhitungan kami,  logistik yang dibawa tidak terlalu banyak karena hanya untuk 2 orang dan berencana berteduh menggunakan 2 flysheet besar. Sehingga kami hanya menggunakan 2 daypack. Sungguh rencana yang lugu untuk sebuah perjalanan musim hujan.

Karena ini musim hujan,  ada beberapa back up planning jika cuaca benar-benar memburuk. Patokan kami hanya waktu.  Jika sudah tidak memungkinkan untuk summit,  kami akan langsung turun.  Jadi ada beberapa timeline yang harus kami ikuti.  Jika ada timeline yang tidak bisa kami capai,  kami akan menggunakan back up planning dan disiplin akan hal tersebut.  Yang pasti target utama kami adalah jumat sore atau malam sudah di basecamp Tretes.

Kami berangkat dari basecamp lawang pukul 11 siang. Kami resgistrasi di pos pendaftaran dan info ke mereka bahwa kami tidak akan turun via Lawang lagi.  Melainkan via tretes. Hari itu tidak ada yang mendaki selain kami berdua. 

Kami berangkat dengan diiringi rintik hujan. Dengan berbekal peta dari pos registrasi dan peta dari riset sebelumnya, kami mulai mendaki mengikuti jalur.  Dimulai dari trek kebun teh yang cukup panjang khas Arjuno via Lawang yang panjang.

Kami berdua memiliki ritme mendaki yang berbeda. Temanku ini laki-laki, Anggi namanya, masih aktif menjadi atlet di karate, jadi ritmenya sangat cepat. Aku jauh lebih lambat darinya. Karena jika dipaksakan mendaki saling tunggu, akan terasa melelahkan. Maka seperti biasa, aku mempersilahkan Anggi untuk mendaki sesuai ritmenya.  Hanya saja,  jika dia sudah sampai pos atau area datar,  tolong tunggu hingga aku terlihat dan silahkan melanjutkan pendakian.  Hal ini agar jarak tidak terlalu jauh dan pendaki pertama tidak menghabiskan energi untuk menunggu pendaki kedua. Cukup efektif dan lebih efisien.

Jalur kebun teh ini cukup membuat kami kelelahan.  Jalurnya cukup panjang dan berbatu. Situasinya sangat sepi, hanya beberapa warga lokal lewat menggunakan motor membawa hasil kebun mereka.  Tidak lupa kami ucapkan sapa kepada mereka.  Sangat ramah-ramah. Kami istirahat minum sekitar 5 menit di pondok putih dan melanjutkan perjalanan lewat hutan kaliandra.

Hutan di sini sangat rapat.  Infonya arjuno via lawang terakhir di daki adalah tahun baruan kemarin.  Sekitar 3 minggu yang lalu.  Pantas saja ilalang dan hutannya masih cukup rimbun untuk ditembus pendaki. Setelah keluar dari hutan kaliandra, akhirnya kami sampai di pos 2. Dari pos 2 ini ada 2 cabang jalur, dimana keduanya berujung di pos 3. jalur tersebut adalah via gunung lincing yang menaiki dan menurunin gunung lincing,  satu lagi melalui sabana lawang.  Tentu saja kami melewati sabana karena jalurnya tidak terjal dan tujuan kami memang menikmati keindahan sabana.



Aku sendiri sudah kewalahan karena sudah berjalan 4 jam non stop, karena kami jarang istirahat sembari duduk atau rebahan. Mengimbangi Anggi di depan cukup sulit,  bahkan dia sambil berpuasa.  Dia memang bukan manusia..  Haha.  Sudah menunjukkan pukul 3 sore, namun kami masih saja di sabana.  Sabana via lawang ini sungguh lebat dan tinggi-tinggi.  Sehingga cukup sulit melewatinya.  Apalagi sebelumnya tidak ada pendaki lewat. Tas daypack  kutitipkan Anggi di depan demi mempercepat langkah. Karena aku sudah ngos-ngosan.

Selang 1 jam, tepatnya pukul 4 sore,  kami mampir di area sabana yang cukup terbuka untuk shalat dan sekedar minum. Melihat area terbuka tersebut,  menurutku sih sudah ada pendaki sebelumnya karena rumputnya seperti sudah terinjak sekelompok atau beberapa orang.

Memejamkan mata 10 menit sambil terbaring di sabana, energiku mulai pulih, aku meminta kembali tasku agar mengurangi beban Anggi. Karena wajahnya pun sudah pucat kekurangan asupan. Setelah itu, kami mulai berjalan kembali.

Setelah sabana, kami mulai masuk ke daerah yang berpohon.  Pada saat itu aku kurang tahu hutan apa.  Tiba-tiba suara gemuruh terdengar.  Makin kencang dan kencang. 

"kabut ya itu?  Atau hujan angin? ", tanyaku.
"kayaknya di lembah sebelah gunung lincing hujan besar.  Sampai terdengar ke sini", Anggi menambahkan.

Cuaca mulai gelap, gemuruh sekarang tidak hanya datang dari samping namun dari bawah.  Kabut putih pekat mulai naik. Seperti menelan sabana yang ada dibelakang kami.  Karena jarak kami berdua cukup jauh,  sambil berteriak kami berdiskusi.

"Buka flysheet di sini jangan? Kayaknya mau badai besar.  Suaranya besar banget", ujarku.

"tunggu cari lahan yang pas dulu", teriak Anggi dari kejauhan.
"ok"

Karena kami tidak membawa tenda,  kami mencari kontur yang cocok untuk membuka flysheet. 

Angin mulai menderu-deru. Jaket sudah basah dengan rintikan hujan.  Yang membuatku tidak kuat adalah anginnya yang besar.  Aku sudah tidak melihat Anggi di depan. Kabut mulai menelan area sekitar kami. Jarak pandang mungkin hanya 1 atau 2 meter. Namun selama jalur masih ada,  setidaknya aku masih pada jalur benar, pikirku dalam hati. Saat itu aku hanya berdoa semoga pos 3 sebentar lagi dan badai cepat berhenti.

Tiba-tiba ada suara teriakan dari Anggi.  Namun tidak begitu jelas. Aku sudah tidak dapat melihat apa-apa kecuali kabut dan rumput yang kupijak.

"apa...?", tanyaku sambil berteriak.
"sebentar lagi.. ", sautnya samar-samar bersama suara gemuruh angin.
"sebentar lagi apa?! ", balasku lagi

Lalu tidak terdengar apa-apa lagi. Hanya deru angin dan rintikan hujan yang semakin deras yang terdengar.

Aku tetap melanjutkan langkah di tanah yang licin.  Karena sehabis sabana tadi,  trek semakin naik dan curam.
Tiba-tiba Anggi berteriak dan suaranya cukup dekat.
"Pos 3 ky! "

"Alhamdulillah!! " ujarku lega.

Walau terengah-engah, aku mempercepat langkahku. Karena semakin cepat bisa sampai,  semakin cepat aku bisa selonjoran. 

Sampai di atas aku makin kegirangan.  Ternyata ada 3 tenda berkubah 1 flysheet besar sudah terpasang. Ada pendaki lain yang sudah duluan datang mendahului kami.  Aku dan Anggi mulai mencari spot untuk membentangkan 2 flysheet besar kami.

Tiba-tiba ada suara keluar dari tenda. Mereka membuka flysheet mereka dan menyapa kami.

"Halo mas.. " ujarku,  sembari menyeka air di wajah.

"Masuk mas mba, neduh dulu..", ujar mereka ramah. 

Kami berdua menumpang duduk di teras tenda mereka.  Mereka segera membuatkan kami teh hangat karena kami terlihat kedinginan,  basah,  dan menggigil.

"nge teh dulu mas mba", tawar mereka ramah.

"dia puasa mas. " kataku,  menjelaskan isyarat menolak dari Anggi.

"wah kuat banget mas. ", kata mereka sama kagetnya sepertiku waktu tau Anggi masih mempertahankan puasa Daudnya.

Waktu menunjukkan pukul 6 sore. Kami isi dengan ngobrol-ngobrol santai dengan mereka.  Ternyata mereka mendaki kemarin.  Rombongan dari bekasi ber 9 orang.  Katanya reuni SMA.  Sekarang sedang libur kuliah, jadinya kumpul.

"kita mendaki kemarin dan camp di sini.  Hari ini ga jadi muncak karena cuaca.  Dari kemarin badai", ujar salah satu dari mereka.

"gimana nih nggi,  bisa ngga? ", aku mulai berfikir untuk menggunakan backup planning.
"coba liat plan nya lagi. ", katanya.

Di posisi ini kami hitung ulang.  Apakah harus menggunakan back up planning atau tidak.  Bagaimana jika badai tidak berhenti2,  bagaimana jika kabut terus menyelimuti, dll.

Akhirnya kami sepakat.  Kami akan stay di sini dulu untuk makan dan berteduh,  lalu jika cuaca memungkinkan, jam 9 malam kami akan summit. Maksimal tengah malam berangkat menuju puncak arjuno untuk check poin pertama.

Akhirnya kami menghabiskan malam bersama pendaki asal bekasi ini.  Mereka sangat ramah. 

Semakin malam, badai semakin kencang. Tidak ingin melawan alam, akhirnya kami numpang nginap di tenda mereka.

Sesekali aku terbangun di jam 12 malam.  Angin belum juga reda.  Sepertinya tidak mungkin untuk menuju welirang. Sebenarnya kalau hujan saja, kami masih bisa coba jalani.  Namun kalau angin kencang, kami tidak berani.  Pukul 2 pagi aku kembali terbangun.  Suara badai di luar malah besar sekali.  Lebih besar dari tadi sore.  Di sini saya bergumam apa jadinya jika kita berdua tidak bertemu tim dari Bekasi ini.  Malam-malam di terjang badai ngga bawa tenda.  Tinggal tambah kecap aja,  nikmat banget kali malam-malam dalam kondisi gitu.  Haha

Dan akhirnya jam menunjukkan pukul 5 pagi. Angin sudah tidak terlalu besar walau hujan masih rintik-rintik.  Kami cuma punya waktu 6-10 jam lagi untuk sapai di basecamp tretes. Sepertinya tidak mungkin.  Dan akhirnya kita sepakat untuk menuju puncak arjuno saja,  lalu pulang via tretes.

Kami summit bersama-sama dengan team dari bekasi. Mereka cukup cepat.  Dan aku kembali selalu yang terakhir. Trek menuju summit cukup lebat.  Kita harus melewati hutan lali jiwo dan cemoro sewu. 

Beberapa jam berjalan, kami sampai di pelawangan.  Di sana ada petunjuk arah jalur dari purwosari.  Ternyata jalur via lawang dan purwosari bertemu di pelawangan ini. 

Saat itu aku benar-benar kewalahan, nafas kembali terengah. Aku hanya sendiri saat itu, dan kabut mulai menebal. Aku hanya bisa melihat jalur yang kupijak. Entah mengapa rasanya ingin selalu rebahan dan tidur. Bahkan, selanjutnya aku sering tertidur berdiri sembari bersandar ke batu. Karena kelelahan yang memuncak, tas daypack kutinggalkan di sekitar trek summit agar bisa lebih cepat sampai puncak. 

Aku sampai puncak pukul 2 siang.  Tentu saja yang lainnya sudah sampai sejak pukul 1 siang mungkin, pukul 12 malah. Cuaca di puncak sangat berkabut. Di atas aku hanya berfoto sekali untuk dokumentasi,  sisanya selonjoran mengambil nafas.  Tidak ada yang bisa di lihat di puncak.  Yang terlihat hanya bebatuan yang kami pijak.  Team dari bekasi izin turun terlebih dahulu dikarenakan cuaca sudah semakin berkabut.  Sedangkan kami masih harus mencari jalur menuju tretes.

Kami langsung berdiskusi untuk segera turun karena waktu dan cuaca sudah semakin tidak mendukung.  Sekarang pukul 2 siang.  4 jam lagi menjelang magrib.

"tretes kemana ki?", tanya Anggi.

Jika melihat peta dan kompas seharusnya tretes ke arah timur laut.  Namun sejauh mata memandang hanya ada jurang dan cuaca sangat berkabut sehingga jarak pandang sangat pendek.  Aku sudah terengah dan sedikit panik.  Karena semakin mengulur waktu, semakin lama kita sampai di basecamp.

"Apa lewat purwosari saja, jalurnya jelas ", sambung Anggi lagi.
"Lu hafal purwosari, nggi? "
"Setidaknya plang nya ada.. ", ujarnya lagi sembari menyisir seluruh area yang tertutup kabut.

Aku pun kembali memperhtungkan kemungkinan-kemungkinan yang terjadi.

"Hmm tapi kalau lewat purwosari... Agak bahaya.  Agak ga enak lewat purwosari magrib-magrib. Banyak tempat petilasan.. ", Anggi melanjutkan. Kini wajahnya yang terlihat khawatir.

Seketika aku mulai berfikir yang tidak-tidak. Bukan karena jalurnya. Namun nada bicara temanku ini bikin kami seperti sedang berada di cerita horor. haha

"Jadi gimana ya.. ", ujarku bingung.
"Kita lewat purwosari saja yang jalurnya sudah keliatan.  Lahaula saja..  Bismillah", akhirnya kami memantapkan pilihan.

Kami mulai turun.  Panikku mereda karena menurutku jalur purwosari ini lebih lebar tracknya dan lebih terlihat daripada jalur via lawang. Setidaknya kemungkinan tersesat lebih kecil.

Hujan gerimis masih menemani perjalanan kami.  Kami hanya berpatokan pada kompas,  altimeter,  dan waktu.  Jika salah satunya tidak sinkron berarti kami tersesat. Baju kami sudah basah.  Satu-satunya yang masih kering adalah sepatuku.  Sehingga masih nyaman untuk melangkah. 

Selang 2 jam perjalanan kami bertemu 2 orang pendaki yang sedang naik.  Girangnya bukan main bertemu mereka.  Berarti kami mengambil jalur yang benar. Kami berpapasan saling menyapa dan bertanya arah.  Kemudian berpisah. Di sini aku sudah pede akan jalur yang kami ambil dan yakin akan sampai basecamp dengan selamat.

Hujan makin besar.  Kali ini diiringi petir dan suara halilintar. Teringat kasus pendaki tersambar petir di gunung prau, aku langsung menonaktifkan semua gadget yang ku bawa.  Kulihat Anggi sudah terlampau sangat jauh di depan.  Namun karena ini turun pendakian,  aku hampir selalu bisa melihatnya walau terkadang agak kabur karena kabut lewat.

Tiba-tiba perutku mulas. Dalam hati "kenapa harus sekarang..".

"Nggi duluan aja. Gw mau boker dulu!..'', ujarku sedikit berteriak.
"Waduh, kudu sekarang banget apa?..'', balasnya sembari memperlambat langkah.
"Tunggu aja di depan, ntar gw nyusul", Teriakku lagi.

Akhirnya aku mencari semak yang cukup tinggi. Tidak terlalu susah mencarinya karena memang hutannya masih lebat. Dan tidak khawatir akan ada orang karena memang tidak ada pendaki turun selain kami.

BAB dihutan ditemani hujan dan petir menyambar itu ternyata sulit (udah itu aja komennya). Hahaha

Kami melanjutkan kembali perjalanan. Waktu sudah menununjukkan setengah 6 sore. Sudah hampir gelap namun altimeter masih menunjukkan angka yang tinggi.

Lalu kami bertemu lagi dengan rombongan baru. Katanya mereka berangkat dari basecamp jam 10 pagi. 7 jaman yang lalu, dan baru sampai posisi ini jam segini. Hal ini membuatku patah semangat. Itu berarti, jika kita memotong setengah perjalanan naik mereka saja, yaitu 3.5 jam, kami baru bisa sampai basecamp jam 9 malam nanti.

Tidak ada kata terucap dariku. Aku dan Anggi hanya saling pandang dari jauh. Dia mengepalkan tangan ke atas tanda jangan patah semangat. Aku mengepalkan tangan dengan layu ke atas membalas mengiya kan.

"Tapi sebentar lagi pos 5 ko mba," ujar mereka'lagi.

Ya, sekitar 20 menit dari sana terlihat pos 5 jalur purwosari. Aku mempercepat langkah menuju pos tersebut. Ada 1 orang pemuda berdiri di luar gubuk pos 5 sedang mengambil foto.

Anggi bertanya,
"Mas basecamp masih jauh?"
"Wah, camp dulu aja mas. Masih jauh banget. Jam segini lagi..", imbuhnya.
Kami berfikir sejenak. Aku melihat ke dalam gubuk, memang banyak pendaki di dalam sedang beristirahat. Ingin rasanya ikut ke dalam, selonjoran menghangatkan badan, ganti baju kering, minum teh hangat, dan hal-hal bahagia lainnya.

"Kita mau langsung turun aja mas kayaknya", Kata Anggi.
"Ngga nunggu magrib aja nggi?", selahku.
Karena waktu sudah menunjukkan jam 6 sore. 

Namun saat itu aku juga perhitungkan sebaiknya jika ingin turun, lebih baik dipercepat. Akhirnya kami berpamitan dengan mas-mas di pos 5.
"hati-hati mas, mba, jalanan licin'' katanya lagi

1 jam setelah pos 5, posisi saat itu belokan sehingga dalam beberapa menit aku tidak bisa melihat Anggi di depan.  Saat aku berbelok,  kulihat Anggi terdiam terpaku melihat ke bawah (jalur turun pendakian yang nantinya akan kita lalui). Wajah paniknya membuatku ikut panik.  Kondisi saat itu berkabut, gerimis, dan maghrib. 

Aku mendekati Anggi dan dia berbisik "lu liat itu ngga ki?", alis matanya menunjukkan sesuatu di bawah.  Aku langsung melihat ke bawah. Astagfirullah! teriakku dalam hati.  Jelas benar ada wanita berambut panjang berbaju putih seperti di film-film.  Seumur-umur aku belum pernah melihat hal tersebut.  

Aku sendiri terus mempertanyakan penglihatanku ini.  Apakah halusinasi,  apakah karena kurang fokus,  atau yang lainnya.  Anggi bertanya berkali-kali terburu, apakah aku juga melihat makhluk tersebut.  Ingin rasanya tidak menjawab pertanyaan itu.

Saat itu kami sedang lelah-lelahnya.  Aku sendiri nonstop berjalan dari jam 6 pagi, 12 jam. Pikiranku kacau.

Anggi belum bergerak sambil terus menatap makhluk tersebut.

"Lu liat ngga ki..? Lu liat ngga..?!", Anggi terus bertanya terburu.

Aku hanya menggeleng pelan walaupun mata tidak lepas melihat makhluk tersebut.

"Duh masa gue sendiri yang liat", Kulihat raut wajah Anggi yang kecewa dengan jawabanku. Padahal saat itu akupun melihatnya, namun entah mengapa yang bisa kulakukan hanya geleng kepala.

"Ki mana senter ki. Mana.." Anggi terburu mencari senter di tas ku.

"gimana nih nggi, gue juga liat'', ujarku akhirnya.
"pake megang-megang rambut segala lagi", ucap Anggi semakin cemas.

Saat kulihat, makhluk tersebut memang sedang memegang rambut. Dari sana aku berlogika bahwa yang kami lihat adalah 1 makhluk yang sama. Bukan hanya hausinasi salah satu dari kami.

"Nggi, gimana nih. Dia bisa denger kita di sini ngga sih nggi, atau dia bisa terbang tiba-tiba kesini ngga sih?", pikiranku masih berkecamuk antara mempertanyakan logika atau ikut dalam euphoria shock ini.

Anggi memegang senter dan langsung menyorotkan senter ke arah makhluk itu di bawah. Seketika makhluk tersebut hilang. Ya. Lenyap. 

Mataku menyisir di sekitar area makhluk tersebut. Seperti ada sejenis payung-payung yang ada di pelaminan pernikahan, lalu ada juga kursi pengantinnya, lalu ada dispenser. Ya, dispenser dibalut cover putih yang diatasnya ada benda hitam. Mungkin dispenser air ini yang aku kira makhluk halus tersebut. Namun posisinya memang berbeda beberapa meter dari posisi makhluk tadi. Entahlah saat itu pikiranku mulai tidak fokus.

Anggi memberanikan melangkah kebawah sembari tetap menyorotkan senter ke area tersebut. Bau semerbak wangi khas makhluk itu mulai menyeruak.

"Lu nyium ngga ki?'', tanyanya sembari menghentikan langkah. Aku hanya bisa mengangguk.

Kami tetap menuruni bebatuan licin untuk sampai dibawah. Kondisi sudah semakin gelap. Ada banyak plang-plang yang menginformasikan bahwa area itu adalah pos 4 yaitu pos eyang semar. Memang benar di sana ada semacam pelaminanan kecil. Di area datar seluas setengah lapangan bulu tangkis. Di sebelah area datar tersebut ada pondokan. Dan kami bisa pastikan ada bau bebakaran dari dalam. Dan ada suara manusia.

Sontak aku agak girang mendengar suara manusia. Dari balik pintu kayu yang berlubang, aku melihat siluet orang mengintip. "halo pak...", ujarku sedikit berharap kehadiran manusia di area tersebut. Aku tak bisa melihat wajahnya karena kondisi berkabut dan di dalam ruangan tersebut sangat gelap. Lama kami menunggu.. "pak..." ujarku lagi memastikan. Anggi yang sedari tadi sibuk mencari plang informasi dan jalan di sekitar melalui senter, melanjutkan langkahnya.

"Nggi tunggu nggi ada orang..", sergahku menghentikan langkahnya. Berbeda denganku yang ingin cepat-cepat istirahat di pondok, Anggi masih fokus berjalan menyisir sekitar dengan senternya.

"Paak.." ujarku lagi agak kencang. Beberapa saat kemudian suara pintu terdengar dan keluar pemuda dengan senyuman ramah.

"Mas, kalau mau ke pos 2 kemana ya?'', tanya Anggi.
"Lho ya tinggal ke bawah aja mas.." ujarnya ramah.
"Ehmm iya mas soalnya kita ngga tau jalan. Kita lintas basecamp berangkat dari lawang kemarin", tambahku.
"Owalah... Yasudah mas, mba, masuk saja dulu. Istirahat"

Aku yang benar-benar lelah dan shock pasca melihat sesosok makhluk tadi, langsung melangkahkan kaki ke dalam gubuk.

"mau nanjak mas?'', tanyaku.
"Ah engga, saya orang sini-sini aja mba.. berkunjung aja..", jawabnya singkat.

Di dalam gubuk tersebut sangat gelap. Ada perapian kecil yang digunakan untuk memasak air. Selain itu ada bapak paruh baya menyambut kami.

"Permisi mas, pak, maaf kami numpang duduk sebentar'', ujar kami sembari menggaggguk berterima kasih.

"silahkan-silahkan, duduk. Dekat api itu biar hangat'', sambut bapak tersebut baik dengan logat jawanya.

Alhamdulillah pikirku, bisa menghangatkan diri sebentar. Badanku sudah basah semua. Ternyata hingga ke dalam sepatu. Mungkin gara-gara sering terpeleset, air mulai masuk ke dalam sepatu. Aku sudah tidak bisa merasakan jari kakiku. Selain itu akupun kaget melihat tangan kiriku bengkak. Sangat bengkak. Namun tidak sakit. Seperti menggembung.

"Nggi kenapa nih?. Di gigit sesuatu kah gue?'', Tanyaku.

"Engga itu biasa ko. Tangan kiri kita selama 12 jam ini cuma ngayun aja ga ngapa-ngapain kan. Dan kita pakai tas terus, aliran darah jadi selalu tertumpuk ditangan. Kalau tangan kanan kita enggak bengkak, karena kita pakai untuk megang trekking pole'', jelasnya.

Aku agak lega mendengar penjelasannya. Iya juga sih. Namun memang benar, tangan kiriku seperti tidak merasakan apa-apa. Baal kalau bahasa sunda nya mah.

Didalam gubuk itu isinya hanya selasar pendek yang dipakai untuk tidur saja. Luasnya sekitar 2 meter kali 4 meter lah kira-kira. Selain mas-mas dan bapak-bapak tadi, ada 2 orang lagi yang sedang tidur di pojokkan. Namun kondisi sangat gelap jadi kami tidak terlalu memperhatikan mereka.

Aku mengecek logistik, air, waktu, ketinggian, dan beberapa peta yang makin sobek karena basah. Dan juga aku mulai sedikit berdiskusi dengan Anggi mengenai apa yang baru kami lihat beberapa saat lalu. Namun pada akhirnya kami sepakat untuk tidak membahas hal tersebut sampai dibawah nanti.

"Mau turun mas mba?", tanya bapak itu.
"Iya pak. Tadi kami dari puncak. Cuaca begini terus. Hujan tidak berhenti-berhenti. Bapak mau turun juga?''

"Ah enggak, saya baru naik ke sini hari ini. Rencana mau ke atas besok. Tapi istirahat dulu di sini.''

Saya mengangguk tanda mengerti.

''Nginap saja dulu di sini mba. Sudah malam. Saya aja naik ke sini 5 jam. Itu ngga hujan. Kalian bisa sampai jam 12 malam di basecamp.'', tambah Bapak itu lagi.

"oh gitu ya pak..", ujarku agak kaget. Karena tidak sesuai perhitunganku. Karena menurut ketinggian, setidaknya kami akan sampai basecamp jam 8 atau 9 malam. 2 jam lagi. Aku menoleh ke Anggi. Dia tidak komen apa-apa. Anggi seperti terlihat lebih gelisah saat itu. Dan itu bukan pertanda baik bagi kami.

Tiba-tiba mas pemuda tadi berbicara ke bapak tersebut dengan bahasa jawa yang halus sekali. Ya bahasa jawa mas-mas ini sangat halus sekali menurut kami. Berbeda dengan bapak tadi. Dengarnya syahdu. Dari apa yang bisa saya tangkap dan gerak-geriknya, dia seperti izin untuk ikut makan, sembari sudah memegang piring dan sedang mengambil lauk ikan.

Bapak ini menjawab dalam bahasa jawa

"silahkan, silahkan, seadanya saja ya..", ujarnya.

"Mba mas, kalau mau ambil makan silahkan lho apa adanya aja, ada ikan. Lalu kalau mau air di belakang ada sumber air, silahkan ambil", tambahnya lagi ramah.

"iya pak terima kasih," jawabku.
"iya pak terima kasih, kita kebetulan masih ada persediaan", tambah Anggi lagi.

Anggi beberapa kali menanyakan apakah aku siap berjalan kembali. 1 sampai 2 kali aku meminta waktu namun akhirnya perjalanan harus di lanjutkan.

kami mulai beranjak berdiri dan menuju pintu keluar gubuk.

"Lho mau maksa turun?'', tanya si pemuda keheranan.

"hehe, iya ni mas, agak mengejar waktu.. ada yang nunggu di Surabaya. mau langsung pulang ke Surabaya'', jawab kami.

"Kalau malem sudah ga ada kendaraan ke kota. waktu bisa dicari lagi. Bukan menakuti, tapi cuaca kurang mendukung untuk trek malam, lagipula jalur kebawah masih sangat jauh dan terjal...kalau ngga hujan mungkin bisa'', ujar pemuda tersebut menjelaskan dengan sangat ramah.

Aku agak berfikir. memang yang dikatakan pemuda itu benar. bahaya yang akan kami lalui adalah kedinginan karena hujan, terjatuh karena jalanan licin, atau faktor kelelahan otot yang bisa menyebabkan fatal injury.

"Enggak mas, kebetulan kita ada yang jemput ko, jadi bisa langsung bertolak ke Surabaya. Hehe.. Sebelumnya terima kasih banyak banget mas'', sanggah Anggi.

Aku tahu persis tidak akan ada yang menjemput kami di basecamp. Anggi sedang berbohong. Artinya kami memang sebaiknya turun.

"Yasudah mas kami akan melanjutkan dulu perjalanan semampu kami. Jika tidak kuat, kami istirahat lagi di pos 2 atau 3 nanti..", ujarku.

"Jangan di pos 3 mba, itu hanya tempat penyembahan. Di pos 2 saja, ada teman saya. Ya yang penting nanti rame banyak orang. Ngga sendirian'', ujarnya lagi ramah.

Kami mengangguk mantap untuk menuju pos 2. Kami berpamitan kepada bapak dan pemuda tersebut. Tidak lupa kami berterima kasih kepada mereka.

"Duluan mas, terima kasih banyak'', ujar kami berpamitan sembari membungkuk dan dadah.

Kami menelusuri lagi turunan-turunan terjal. Kali ini kami berjalan tidak terpatut berjauhan. Karena sudah malam dan jalanan licin. Ditakutkan ada yang terperosok atau jatuh.

Kami berjalan terdiam. Hanya suara langkah kaki, angin dan rintikan hujan (beuh kayak judul lagu). Anggi sering sekali menyorotkan senter ke pohon-pohon dan tempat-tempat jauh, yang menurutku, hal tersebut malah menambah ketakutanku, haha. Nanti tiba-tiba ada yang nampak lagi gimana. Dalam pikiranku saat itu hanya bagaimana melangkah agar kaki tidak semakin fatigue dan tetap pada track yang benar.

Selang satu setengah jam, kami melihat bangunan gubuk dan 1 barak yang cukup besar. Yap ini pos 3. Mendengar cerita dari pemuda tadi, aku fokus hanya melihat jalan. Tidak lihat kanan kiri.

"Nggi, langsung aja cus. Ga usah tengok2", ujarku sambil terus fokus ke jalan di bawah. Anggi malah sengaja menyisir area tersebut dengan senter. Dia semakin terlihat gelisah.

"Ayok lah nggi.." ujarku memaksa

Kami melanjutkan perjalanan. Pikiranku hanya berdoa semoga pos 2 sudah dekat.

Selang setengah jam, saat itu sekitar pukul delapan malam. Tiba-tiba Anggi berhenti. Aku yang sepanjang jalan hanya menatap ke bawah melihat jalur, menabrak tasnya. Ternyata ada persimpangan jalan. Dua jalan tersebut sama-sama lebar dan sama-sama datar. Yang satu lurus, yang satu belok kanan. Kami terdiam cukup lama sembari menyorotkan senter ke setiap ujung 2 jalur tesebut. Di ujung jalur yang lurus agak rimbun. Dan di ujung jalur yang ke kanan tidak terlihat karena sepertinya ada belokan.

"Sini aja deh ki'', ujar Anggi mantap.
"yakin?" tanyaku agak ragu dengan intonasi nadanya.

Anggi hanya mengangguk.
"Ok Nggi, 10 menit kita belum nemuin turunan, kita balik lagi ke sini ya. Gw cek alti sama kompas juga. Kalau misal melenceng keluar jalur nanti gw kasih tau'', saat itu betapa berartinya altimeter dan kompas.

Kami berjalan mengambil jalur kanan. Panik kembali menyeruak. Karena ketakutan terbesarku saat naik gunung adalah tersesat. Aku hanya tertunduk melihat jalan, sambil tangan memegang tas Anggi di depan. Tidak menengok kanan, kiri, apalagi atas. Anggi sebagai penunjuk arah.

Kami mulai masuk ke hutan bambu. Dari sudut mataku, kuihat jalan sudah agak melebar. Aku melihat sesekali ke kanan dan kiri. Kanan kiri kami adalah pohon bambu yang sangat lebat. Lalu Aku kembali memfokuskan mata ke jalan. Anggi sesekali berhenti mendadak. Hal itu yang mebuatku panik. Walaupun begitu, aku tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Benar-benar hanya mengikuti.

Tiba-tiba jalan mengecil. Anggi berhenti mendadak lagi. Cukup lama. Aku yang menunduk tetap sabar menunggu tidak mengucapkan sepatah kata apapun. Begitu juga Anggi tidak berucap satu kata pun.

"Ki, ..."
"Baca lahaula walakuwwata illa billah ya. Jangan putus sama sekali'', ujar Anggi tiba-tiba.
"Okeh'', jawabku singkat. Bulu kudukku berdiri. Namun Aku tak mau menanyakannya, aku tak mau membahasnya.  Hanya 'okeh' dan kami lanjut jalan.

"Jalannya jangan ketinggalan, ki. Jangan pisah sama sekali. Lahaula jangan putus''.

"okeh", Tangan kiriku meraih tasnya. Dan kami lanjut berjalan kembali.

Temanku bergumam lagi sembari berjalan
"duh...", keluhnya.
"Ga usah di bahas ya. Diem aja. Yang rapet. Lahaula jangan putus", tambahnya lagi.

"okeh'', balasku lagi tanpa babibu. Saat itu aku semakin merinding. Pikiranku benar-benar lelah.

Pada saat itu aku tidak dapat melihat apa-apa kecuali jalan dibawah karena memang aku tidak melihat ke arah lain. Namun menurut cerita Anggi, di saat itu dia melihat beberapa makhluk putih berambut panjang lagi. Ada sekitar 6 di kiri dan 7 di kanan. Atau sebaliknya dia tidak ingat. Yang dia ingat adalah makhluk ini berbaris seperti menyambut sesuatu. Dan menurutnya, mereka yang berbaris itu menghadap ke arah berlawanan dengan kami. Ya, mereka berbaris menghadap depan dan kami melewati mereka. Dan pada saat kali kedua Anggi mengeluh lagi, saat itu bau semerbak khas makhluk tersebut sangat menusuk katanya. Namun pada saat itu aku tidak menciumnya. Karena pilek mungkin. Ya kondisiku memang agak pilek dari saat summit.

Saat diceritakan olehnya, aku benar-benar bergidik.  Apa jadinya jika saat itu aku juga dapat melihat mereka. Hiii..

Melanjutkan perjalanan, temanku tiba-tiba berhenti lagi. Kali ini kita sudah sampai di area agak luas dan ada bangunan juga. Pos 2.. Pikirku. Alhamdulillah.

Terlihat ada anjing disekitar barak tersebut. Matanya menyala karena senter kami.

''Nggi, anjing Nggi", ujarku takut.
Dalam hati aku tertawa. Pikiranku sudah stres, sama anjing aja takut. Ya, lelah pikiran, lelah mental, lelah badan membuat semua inderaku sensitif. 

Aku melihat di ujung teras barak dikejauhan, ada 2 lelaki sedang mengobrol. Karena jauh dan tidak mau berteriak, aku melambaikan tangan. Hatiku kegirangan karena akhirnya melihat manusia lagi. Mereka berdua masuk kedalam barak tersebut. Namun tidak kunjung keluar.

Karena cukup jauh, kami berjalan mendekat. Tentunya agak berkeliling karena ada si anjing yang dari tadi menatap kami dengan curiga sembari mengendus.

Anggi tetap sibuk menyisir seluruh area dengan senternya. Kanan kiri atas bawah. Yup. Pada saat menyenter kearah hutan bambu yang barusan kami lewati. Astagfirullah aku melihat jelas ada pantulan sinar berbentuk sepasang mata. Ada beberapa dan tersebar. Apapun makhluk itu, aku takut. Karena jika hewan buas, habislah kita.

"Musang kayaknya'', ujar Anggi menenangkan.

Aku kembali fokus mencari 2 orang yang kami lihat tadi.
"Mas.. Pak..", ujarku agak kencang. Namun sudah beberapa menit belum kunjung keluar. 

Kami berjalan kembali agak dekat. Lalu keluar seorang bapak-bapak. Dia berjalan menghampiri kami.

"Pak, pos satu kemana ya'', tanya Anggi.
"ya tinggal turun mas..", jawabnya.
"Oh iya maaf pak, kami lintas basecamp. Jadi belum pernah lewat sini"

"Oh, ke sana aja mas. Nanti ada jalan setapak. Dari situ tinggal ikutin jalur aja."

Kami mengangguk.

"Camp dulu sini aja mas. Sudah malem gini dan gerimis. Takut kenapa-kenapa", tambah bapak itu.

"Makasih pak, kita mau ke Surabaya malam ini, jadi kayaknya langsung turun aja. Bapak mau turun juga?''

"Oh engga. Saya baru mau naik. Camp dulu, besok lanjut.''

Cukup lama kami berbincang, kami pun pamit.

Jalan dari pos 2 ke pos 1 agak melebar dan beberapa seperti sudah dibeton. Kami berjalan lagi dalam kegelapan. 

Tiba-tiba ada suara dari kejauhan dibawah.

"Nggi, ada suara orang bukan sih?"

"Hmm..", balasnya sembari selidik menyorotkan senter ke depan.

Lalu terdengar suara obrolan dalam bahasa jawa yang semakin mendekat.

"Halo mas, mba..", Sapaku.

Mereka menyapa balik. 2 orang pendaki kakak beradik. Kakaknya laki-laki seumuran Anggi mungkin. menggendong 2 tas. Satu lagi adiknya cewek, terlihat kelelahan menanjaki bebatuan.

Kami mengobrol sebentar mengenai track dan pos-pos yang kami lalui tadi. Begitu juga dengan informasi bahwa sudah tidak ada pendaki yang naik dan turun via purwosari malam itu.

Si adik kewalahan dan merengek ke kakaknya agar turun kembali. Kami hanya bisa memberi semangat dan segera berpamitan.

Walau masih terjal, track sudah mulai lebar. Kami mempercepat langkah. Sesekali terdengar suara orang di belakang. Kemungkinan sih, kakak beradik itu juga ikut turun lagi.

Hutan sudah tidak lebat. Lampu kota sudah terlihat. Aku sudah benar2 lelah...

"Nggi Nggi, 5 menit Nggi...", Aku mulai kehabisan nafas karena langkah kami semakin cepat.

Aku bersandar di batu untuk mengistirahatkan kaki. Terdengar suara orang dari atas. Cukup dekat..

"Mereka balik lagi ya nggi?"
"Au tuh.. Kayaknya sih.."

5 menit..., 10 menit berlalu..

"Mereka kagak turun2 tuh. Dari tadi suaranya mulu. Orangnya kagak ada", 

"Yu cus lagi..", Anggi mulai bersiap.

Jalan kembali mengecil dan hutan mulai rapat. Jalannya tidak begitu berbatu. Seperti semen dan tidak ada bebatuan sebagai penyeimbang. Jalanan ini menurutku lebih melelahkan dari pada batuan terjal.

Jarak antara aku dan Anggi semakin menjauh. Intensitas kata2 'tungguin, Nggi' makin sering kuucapkan. Aku merasa jalanku sudah sempoyongan karena lelah otot kaki. Tangan kiriku pun semakin bengkak.

Anggi sesekali menengok ke belakang, melihatku yg mulai banyak salah pijakan dan tidak seimbang.

"Sugesti2..." ujarnya sembari mengepalkan tangan memberi semangat.

Kata-kata itu langsung menyadarkanku. Saat menjadi atlet dulu, aku percaya kekuatan pikiran dapat mengalahkan rasa apapun. Apapun rasa sakitnya, sugesti positif bisa membalikkan keadaan. Setiap dalam keadaan kelelahan atau panik (terutama dalam pendakian), prinsip ini selalu aku terapkan. Nah, bagiku dan anggi yang pernah jadi atlet, kata 'sugesti' menjadi kode kami jika kami sudah tidak fokus. Namun perjalanan kali ini begitu bikin pikiran kalut, aku sampai lupa akan hal itu.

"okeh!", sautku tegar memantapkan diri sendiri untuk tetap fokus. 

Seketika pikiran menjadi fokus kembali. Aku membayangkan perutku sudah terisi penuh, beban ringan, baju dan sepatu kering. Dan aku membayangkan energiku masih full seperti baru memulai pendakian.

Hal tersebut cukup membantu. Syukurlah.

Selang setengah jam, temanku menyuruhku mempercepat langkah. Agar jarak kami tidak terpatut jauh.

"lahaula masih lanjut kan ki?", ujar Anggi tiba-tiba berbisik.

"okeh!", tangan kiriku langsung meraih tasnya dan jalan fokus menghadap bawah.

Kami kembali terdiam.

Lalu di kejauhan mulai terlihat gapura dan lampu rumah penduduk.

"Alhamdulillah ya Allah!", teriakku pelan2. Kami mulai tersenyum. Seketika energi kami menjadi full untuk mempercepat langkah ke gapura tersebut.

Suasana perumahan di sana sangat sepi. Tidak ada orang di jalan. Basecamp sudah tutup. Kami mengetuk salah satu rumah yang kami lihat ada orangnya.

Kami menjelaskan kondisi kami dan titip menyampaikan ke basecamp purwosari bahwa kami sudah sampai dan tidak jadi lewat tretes.

Mereka sangat ramah dan bersedia mengantarkan kami ke kota untuk naik bis ke Surabaya.

Kami istirahat sekitar setengah jam di rumah penduduk. Namun kakak beradik yang kita temui tadi tak kunjung datang.

"Mas, tadi malah ada pendaki yg naik juga mas. Kita ketemu antara pos 1 dan 2", ujarku memberitahu mas-mas di sana.

"Lho iya? Harusnya sih ngga ada pendaki yang naik malam-malam gini.", jelas mas2 tersebut.

Mungkin mereka camp di pos 1 pikirku.

Sampai kota, kami nyetop bis menuju Surabaya dan langsung tidur di Bis karena kelelahan. 

Aku mencari bangku kosong agar bisa rebahan cukup leluasa. Begitu juga, Anggi. Dia langsung menuju barisan kursi paling belakang dan tidur rebahan. Tak ada satu katapun terucap untuk membahas kejadian malam ini di trek. Fokus kami saat itu adalah tidur.

Dalam hati saat itu, aku seperti habis keluar dari negeri antah berantah. 

Di perjalanan ini aku menyadari bahwa kekuatan pikiran adalah faktor penting dalam mencapai sesuatu. Juga, berdamailah dengan alam. Kita hanya manusia kecil yang menumpang sebentar sekali di belantara ini.

Selain itu, matang dalam mempersiapkan pendakian adalah kunci suksesnya perjalanan. Allah masih melidungi kami melalui pendaki dari Bekasi. Juga, saling menjaga mental satu sama lain di dalam tim, sangat berpengaruh. Kalau tidak ada Anggi, mungkin aku sudah kehilangan akal di pos eyang semar saat itu.

Sekian kisah Arjuno kami. 




Comments

  1. Cerpennya seru! Di tiap gunung kayaknya selalu ada yg cerita punya pengalaman mistis. Anggap aja bonus :P

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo pak Zainal.. apa kabarnya? terima kasih udah mampir ke blog saya 😅.

      betul pak tiap gunung pasti aja ada pengalaman mistisnya. Buat bumbu2 biar makin dikenang perjalanannya 😁

      Delete
  2. Waah ternyata Furky pintar menulis jugaa...keep writing and share your experience to others!!..salam, Om Juanda

    ReplyDelete
    Replies
    1. wah terima kasih banyak sudah mampir om. Iya lagi dilatih dan belajar lagi... sekali lagi terima kasih om 😃🙏🙏

      Delete
  3. Ceritanya sangat bagus Bu,saya yg baca saja berasa seperti tempat kejadian kaya ikut naik turun gunung sangat menarik.seremmmmm nya berasa banget.

    ReplyDelete
  4. Memang jalur situ ya mistis ya bagus, alas tengah atas pos 3 kalo malem paling serem

    ReplyDelete
  5. Salam kenal dr sy ya teh., Mantap keren..!! Salut sy👏👏

    ReplyDelete
  6. Mantap kak/bu nih 🤭,
    Jadi terinspirasi pengen buat Blok juga, baca Satu aja bikin penasaran judul Blok lainnya. Oya kalau beh tau gimana caranya berani memutuskan kapan camp kapan tik-tok kak/bu. Ditunggu tanggapan ya. Terimakasih 📍

    ReplyDelete
  7. Seru berasa ngebayangin ceritanya.

    ReplyDelete
  8. Sukaa bgt mulai dari ketemu video kilimanjaro sliweran di beranda youtube nonton sampai 2 kali wkwk terus cari² ig dan berakhir di blognya. Maa syaa Allah. Keren mbanya.

    ReplyDelete
  9. Teh, seru pisan. Sampe nagih bangetttttt. Ke sini gegara liat story sorotan horor yg gambarnya sungguh impressive. Ditunggu cerita2 lainnya ya Teh :) Salam Lestari

    ReplyDelete
  10. Purwosari terkenal jalur sadis dan menyeramkan....banyak sekali makhluk halus yg sering nongol...kaya digunung sumbing,merbabu,juga argopuro yg terkenal angker

    ReplyDelete
  11. Hehe akhirnya sudah tidak penasaran sama kelanjutan cerita kak furky yang udah di spill di snap ig 🤣

    ReplyDelete
  12. trekking berdua malem-malem emang mantap hahaha dan itu jadi pengalaman pertamaku naik gunung, berdua di tengah hutan Ciremai via Linggasana...

    ReplyDelete

Post a Comment